About my Blog

Share Information; Blogs, Travel, Technology, Tutorial, Business, College and etc.

Jumat, 04 Juni 2010

Keberanian

saya pikir orang yang berani itu adalah orang yang:

...pantang menyerah
...berani menghadapi rasa takut di hatinya sendiri
...tidak gentar saat berhadapan dengan tantangan
...tidak malu mengakui kesalahan dan kelemahan diri sendiri
...mau mengakui keberhasilan dan kelebihan orang lain
...mau berusaha untuk menggapai cita-cita yang paling tinggi sekalipun
...tidak berkecil hati saat mendapatkan hinaan
...tidak mundur saat mendapatkan penolakan
...menganggap kegagalan sebagai sesuatu yang lumrah
...tidak mencontek (bagi pelajar)
...tidak korupsi (bagi pejabat)
...tidak curang (bagi olahragawan)
...tidak mengeluh saat rugi (bagi pengusaha)
...tidak mendua apalagi ngelaba (bagi orang pacaran)
...tidak selingkuh dengan diam-diam (terang2an berani gak hayo?? he"..)
...tidak ngumpetin uang dari suami/istri
...tidak melecehkan orang yang lebih muda usianya
...tidak kurang ajar sama yang lebih tua
...sportif
...jujur
...adil
...lebih suka memberi daripada menerima

Keberanian sebagai ruh praktik mencintai

Cinta dan keberanian menempati posisi kunci dalam kehidupan manusia, keduanya sebagai potensi yang sama-sama asasi. Sintesis sederhana yang dibuat atas keduanya sering kita dengar dalam ungkapan: “cinta melahirkan keberanian” dan “dibutuhkan keberanian untuk mencintai”. Tetapi sekedar sebagai ikhtiar, penulis berpendapat bahwa yang satu dapat dianggap lebih dahulu dari pada yang lainnya.

Menurut saya, cinta lebih purba dibandingkan keberanian. Cinta adalah potensi spiritual yang tertanam kuat dalam jiwa manusia—ia mendahului semua bentuk pengungkapan verbal. Cinta pertama-tama dirasakan sebagai pengalaman kehadiran, pengalaman akan “perasaan mengingini sesuatu” yang hadir sebelum semua refleksi diniatkan. Rasa syukur akan pengalaman kehadiran tersebut kemudian hadir dalam banyak rupa—wujud dari artikulasi ketakjuban. Semua kebudayaan di dunia ini pasti mengenal dan mempraktikkan cinta dengan caranya masing-masing. Namun, cinta tak bakal berjejak di dunia ini andaikata tidak ada energi yang menggerakkannya. Mengamini pendapat Rollo May, bahwa sejatinya, semua potensi produktif manusia digerakkan oleh energi keberanian, tak terkecuali dorongan mencintai. Bagi May, mencintai adalah lelaku yang tidak pernah sudah, merongrong sekaligus menjamin eksistensi—darinya semua pengalaman terintegrasi dan terus menjadi.

Meskipun pada hakikatnya dorongan mencintai itu sudah tertanam kuat dalam diri manusia—tetapi untuk menjejakkannya dalam kehidupan nyata, dibutuhkan keberanian terus-menerus untuk menguji dan meningkatkan kualitas mencintai itu sendiri. Mencintai adalah proses pengenalan akan yang beda, yang misterius, sehingga untuk mengamalkannya secara otomatis akan bersentuhan dengan wilayah epistemologi dan etika.

Epistemologi mencintai digerakkan oleh keberanian untuk mengenal dan menerima “keberbedaan” yang lain, karena secara naluriah pengenalan akan yang beda tidak hanya menghasilkan pengalaman ketakjuban semata, namun sering kali diikuti dengan ketakutan dan kejijikan—di mana hal itu mendorong kita untuk mencari kompensasi psikis—yaitu dengan menundukkan dan menjinakkan yang beda itu. Hanya dengan keberanian untuk menundukkan ketakutan dan kejijikan itu, kita akan mampu menerima keberbedaan itu. Ketika yang beda itu kita tempatkan sebagai yang asing dan menakutkan, tentunya kita akan enggan mengikatkan diri dengannya. Kita akan mendudukannya sebagai “kamu” yang jahat dan menjijikkan dimata “aku”. Lain halnya ketika kita melihat yang beda itu dalam kemandiriannya dan menghargai setiap momen aktualitasnya, maka, relasi diri yang pada awalnya bersifat “kamu-aku” naik derajatnya menjadi “kita”.

Pengalaman akan keberbedaan atas yang lain juga menyimpan semacam seruan etis. Emanuel Levinas menyimbolkan yang beda sebagai “wajah”. Setiap kita berjumpa dengan wajah yang lain, tanpa disadari kita telah tersituasikan untuk menerimanya tanpa syarat. Keberbedaannya atau dalam bahasa Levinas, alteritasnya, melahirkan dorongan etis dalam bentuk penghormatan dan seruan melestarikan. Keberanian etis dalam konteks ini adalah keberanian untuk mengebiri setiap nafsu penaklukan yang biasanya muncul dalam kalkulasi matematis yang berujung pada perhitungan untung-rugi dan habis-bagi. Dengan demikian, mencintai adalah keberanian menaklukkan diri sendiri.

Sebagai bahan renungan, di tengah-tengah serbuan pengalaman negatif yang bertubi-tubi akhir-akhir ini—kita memang sering kehilangan semangat untuk sekedar memikirkan ketulusan praktik mencintai—atau setidaknya masih memperbincangkannya dalam obrolan sehari-hari. Namun, saya meyakini bahwa kita semua senantiasa memimpikan terwujudnya kehidupan yang lebih damai dan sejahtera. Barangkali bukan sekedar regulasi politik, ekonomi, hukum, atau entah apa lagi, yang mampu menciptakan kesejahteraan dan kedamaian di negeri ini, tetapi keberanian para pemimpinnya untuk mencintai dan menghormati hak-hak rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar